[03] KEKERASAN DALAM LINGKUNGAN PENDIDIKAN DITINJAU DARI USIA ANAK BERDASARKAN SOSIO EMOSIONAL DAN MORAL






































Tinjauan Kasus Pendidikan Berdasarkan Moral
Tahapan perkembangan moral pada perkembangan anak sesuai dengan yang disebutkan oleh Piaget dibagi menjadi dua (2) tahapan yakni tahapan heteromous morality dan tahapan autonomous morality. Pada kedua tahapan perkembangan moral tersebut memiliki ciri-ciri dan perlakuan yang berbeda dari orang-orang dewasa di sekeliling anak dalam rangka menumbuhkan moral yang baik dan sesuai dengan etika moral yang diyakini benar dalam kehidupan bermasyarakat.
Tahap perkembangan heteronomous morality adalah tahapan perkembangan pandangan moral dari sudut pandang anak-anak dimana aturan dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan tidak dapat berubah. Ini adalah tingkatan pertama dari perkembangan moral yang mana anak-anak memandang peraturan dari pembimbing (orang dewasa) yang dihormatinya adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dan tidak dapat dibantah. Tahapan ini terjadi pada usia anak 4 – 7 tahun. Pada anak-anak usia SD akan menganggap aturan yang diterapkan oleh gurunya adalah hal yang benar, tidak dapat ditawar, tidak boleh dibantah, dan harus dilaksanakan.
Tahapan autonomous morality adalah tahap kedua perkembangan (dimulai sekitar usia 10 tahun atau lebih), dimana anak mulai menyadari bahwa aturan dan hukum adalah buatan manusia dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat pelaku dan konsekuensinya perlu dipikirkan. Pada anak usia SMP sampai dengan usia SMA, beberapa aturan tidak serta merta diterima dan dilaksanakan, namun mulai dipikirkan sebab, alasan, dan dampak dari aturan tersebut dibuat.
Kasus-kasus dalam lingkungan pendidikan, menurut saya lebih kepada dampak dari perkembangan moral anak yang melampaui batasan usia pada tahap heteronomous. Anak seusia SD seharusnya belum waktunya untuk bertindak yang mengarah kepada kekerasan, kalaupun ada yang mengarah kepada kekerasan, hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh lingkungan yang memaksa anak untuk dewasa sebelum waktunya, bisa saja terjadi karena adanya pengaruh sinetron dan tontonan yang seharusnya belum waktunya diperbolehkan anak untuk melihatnya. Dalam hal ini pengaruh sinetron yang kurang berkualitas dan menampilkan banyak adegan yang seharusnya tidak ditonton oleh anak usia sekolah dasar memberikan efek atau dampak yang sangat buruk pada tahapan perkembangan moral anak.
Kekerasan dalam lingkungan pendidikan yang dilakukan oleh siswa pada usia SMP dan SMA menurut saya lebih dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak mengakomodir kebutuhan siswa pada tahapan autonomous morality yang telah kita tahu bahwa pada tahapan ini anak mulai menyadari bahwa aturan dan hukum adalah buatan manusia dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat pelaku dan konsekuensinya perlu dipikirkan. Pada anak usia SMP sampai dengan usia SMA, beberapa aturan tidak serta merta diterima dan dilaksanakan, namun mulai dipikirkan sebab, alasan, dan dampak dari aturan tersebut dibuat. Dengan demikian seharusnya orang tua dan guru harus memberikan alasan-alasan dengan bukti-bukti nyata (kongkret) dan logis atas suatu hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh siswa (anak) sehingga kasus-kasus kekerasan dalam linkungan pendidikan akan dapat kita hilangkan dan hindari bahkan bisa kita tiadakan.

Antisipasi Berupa Tindakan Sebagai Guru Dalam Menyikapi Kasus Pendidikan
Sesuai dengan penjelasan yang telah dikemukakan di atas maka beberapa hal yang dapat kita lakukan sebagai bentuk antisipasi atas kasus-kasus dalam dunia pendidikan yang kadangkala terjadi supaya tidak terulang lagi diantaranya adalah :
  1. Memperbanyak dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap perkembangan anak (siswa) dan perlakuan terbaik sesuai dengan tahapan-tahapan tersebut.
  2. Memberikan tauladan / contoh terbaik kepada siswa (anak) dalam kehidupan sehari-hari anak, terutama pada tahapan perkembangan anak (siswa SD) dan pada tahap perkembangan heteronomous morality.
  3. Membimbing dan mengarahkan siswa (anak) sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangannya.
  4. Memberikan alasan-alasan logis yang dapat diterima anak (siswa) terhadap hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga tidak ada penolakan dalam bentuk pemberontakan atas aturan yang diberlakukan kepada anak (siswa).
  5. Sebagai bagian dari komponen penyusun lingkungan, sebaiknya kita usahakan untuk memberikan kontribusi (pengaruh) yang positif dalam proses perkembangan anak baik dalam tahapan sosio emosional maupun pada tahapan moral anak (siswa).
  6. Menjalin hubungan dan komunikasi aktif, efekti dan efisien baik horisontal (dengan orang tua siswa) maupun vertikal (pengambil kebijakan pendidikan) supaya dapat bersama-sama menjaga dan membawa generasi bangsa menuju hal yang lebih baik.
  7. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam membangun sosio emosional dan moral siswa (anak).
Dengan beberapa langkah-langkah antisipasi tersebut, maka harapan saya dan juga harapan kita semua, kasus-kasus yang ada dalam lingkungan pendidikan pada khsusunya dan di masyarakat pada umumnya semakin berkurang dan tidak akan terulang kembali sehingga sebagai bangsa kita akan mampu dengan segera menggapai tujuan pendidikan dan tujuan negara sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Pancasila dan Undang-Undang.

Kekerasan Dalam Lingkungan Pendidikan Ditinjau dari Usia Anak Berdasarkan Sosio Emosional dan Moral


                                                      

      

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel